Remaja batak mendaki gunung melihat keindahan Danau Toba yang tidak lagi menggunakan bahasa batak sepenuhnya selama perjalanan menuju puncak sampai ke tujuan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Atap ijuk
perabung timah. Begitu
lah bahasa batak sekarang. Betapa
berbeda bahasa yang di pahami dari zaman ke zaman. Malu dengan bahasa sendiri tidak
lagi dihidupi dihayati dan semakin ditinggalkan.
Di zaman sekarang ini, yang tampak berkembang dengan semua mulai bergaya modern. Sekitar 2 juta dari 8,5 juta orang yang masih aktif berbahasa Batak. Setiap tahun makin berkurang jumlahnya. Kalau dibiarkan, maka pada masa tertentu Bahasa Batak akan punah. “Aku adalah salah satu orang Batak asli dari ribuan orang Batak yang ibu bapak ku juga Batak. Namun, aku kurang paham dengan apa yang orang katakan jika menggunakan bahasa Batak. Sehari-hari selalu menggunakan bahasa Indonesia sangat janggal ku dengar Bahasa batak lantaran orang-orang disekitarkupun jarang menggunakan bahasa Batak,” tutur Horas Bahasa Batak atau Bahasa Toba adalah bahasa yang di tuturkan di sekitar Danau Toba dan sekitarnya, meliputi Samosir, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara dan Toba Samosir, Sumatera Utara, Indonesia. Kini bahasa daerah sebagai bahasa ibu kian memudar. Sejumlah bahasa daerah dinyatakan telah punah, sementara puluhan bahasa daerah lainnya masuk pada kategorikan terancam punah salah satunya yaitu bahasa Batak. “Rasanya sedih sekali bercampur malu, karena aku kurang memahami bahasaku sendiri,” tutur Horas. Bahasa yang rentan yakni semua anak-anak dan kaum tua masih
menuturkan namun jumlahnya sedikit. Bahasa yang mengalami kemunduran yaitu
sebagian penutur anak-anak dan kaum tua, dan sebagian anak-anak lain tidak
menggunakannya lagi.
Semakin bertambahnya usia membuatku malu tidak tahu bahasa sendiri, sedikit demi sedikit aku mempelajari bahasa Batak. Mencoba mengenal tiga kategori (rangsa) dalam Bahasa Batak, yaitu: (1) rangsa ni hata siganup ari (bahasa percakapan sehari-hari), (2) rangsa ni andung (bahasa dalam syair-syair ratapan), dan (3) rangsa ni hadatuon (bahasa dalam mantera, ilmu perdukunan, pengobatan, dan nujum).
Tanpa kita sadari perilaku sejenis itu mengarahkan
kita menuju sebuah bencana besar: kematian bahasa daerah. Musibah kebudayaan,
karena kurangnya kesadaran bahwa bahasa ibu merupakan kekayaan yang tidak
ternilai. Bahkan kesalahan berbahasa Batak tidak ada yang
memperbaiki, kesalahan berbahasa ini berlangsung masif. Dalam situasi saat ini, makin
ironis. Anak-anak muda kini mulai berlomba-lomba agar tidak kelihatan
kebatakannya. Bahkan banyak gaya yang di buat-buat. Orang Batak pun
makin enggan menunjukkan nama Bataknya dan kalau punya anak tidak akan diberi
nama Batak. Padahal ini juga turut berkontribusi menghilangkan bahasa Batak. Peran pendidikan orang tua kepada anak-anaknya, sangat penting untuk menghidupkan kembali
kebudayaan Batak. Generasi muda kini tak lagi menggunakan bahasa Batak dalam
kehidupan sehari-hari karena dianggap tidak gaul atau bahkan kuno.
Generasi muda harus diberikan pemahaman agar bangga dalam melestarikan
kebudayaannya. “Kesadaran untuk mempejari dan
mengenalkan bahasa Batak seharusnya segera di lakukan, agar bahasa tersebut
tidak punah,” tutur Horas. “Dari sisi kelembagaan pun, baik pemerintah (pusat dan
daerah), kumpulan (punguan) marga/bona pasogit, sekolah, maupun gereja, masih
kurang dukungan. Jadi kerusakan budaya dimulai dari asalnya. Kerusakan Bahasa
Batak pun dimulai dari asalnya,” tutur Horas. Pelajaran Bahasa Batak pun nyaris hilang di sekolah - sekolah.
Di tingkat SD, anak-anak dapat belajar bahasa dan aksara Batak. Di tingkat SMP
dan SMA dapat ditingkatkan pada literasi dan sastra Batak. Suku Batak menjadi salah satu dari 7
atau 8 suku yang memiliki aksara. Bahkan sepertinya Batak satu-satunya yang
memiliki penanggalan (kalender). Oleh karena itu, titik baliknya kita buat ke
arah sana. Tulisan ini telah dimuat di klikwarta.com. |
Komentar
Posting Komentar